Feminisme Liberal ialah
terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia
-demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan
pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam
kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminisme Radikal. Trend ini
muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
“perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai
reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di
Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri
pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta
dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai
namanya yang “radikal”.
Feminisme post modern. Ide
Posmo – menurut anggapan mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti
otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena
sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan
sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur
sosial.
Feminisme anarkis lebih
bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis
dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Feminisme Marxis. Aliran ini
memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan
jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange
dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan
perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Feminisme sosialis. Sebuah
faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme Sosialis berjuang untuk
menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan
pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme postkolonial. Dasar
pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Beverley
Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact
of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan
atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi
ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
Feminisme Nordic. Kaum
Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan
Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar