Masyarakat
merupakan sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama cukup lama,
mendiami wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian
besar kegiatan dalam kelompok tersebut (Paul B Horton). Bila berbicara tentang
masyarakat tentu tak akan lepas dengan banyak hal yang berkaitan dengan
masyarakat itu sendiri baik dari interaksi didalam masyarakat, struktur masyarakat,
sosialisasi, nilai dan norma, dan hal lain yang berkaitan dengan masyarakat
tanpa terkecuali konflik.
Dalam
masyarakat tak serta merta tercipta sebuah ketentraman dan sebuah kelarasan
yang berkelanjutan dan panjang tanpa adanya sebuah konflik ataupun pertikaian.
Masyarakat seperti sudah menyatu dengan konflik yang dapat diibaratkan sebuah
uang logam yang memiliki dua sisi yang tak terpisahkan masyarakat juga dianggap sebagai arena konflik
atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Konflik sendiri
merupakan gejala sosial yang ada pada masyarakat yang dimana konflik itu
bersifat inheren yang artinya konflik akan senantiasa ada dalam kehidupan di
setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Konflik ada karena didorong
oleh perbedaan kepentingan sosial yang dilakukan oleh setiap anggota
masyarakatnya hal itu karena setiap anggota masyarakat memiliki berbedaan dan
tidak adanya kesamaan yang merata baik itu kesamaan kepentingan, tujuan hidup,
pandangan berbeda dan hal-hal yang bersifat individual.
Istilah
konflik secara etimologi berasal dari
bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “figire” yang berarti benturan. Yang demikian konflik
diartikan benturan yang melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik sendiri secara
umum dikategorikan dalam beberapa katerogi adapun diantaranya konflik antar
bangsa, konflik antar kelas sosial, konflik kepentingan, konflik antar
individu, konflik antar golongan, konflik umat beragama, konflik rasial ataupun
suku, dan konflik gender. Akar penyebab
konflik itu sendiri berasal dari kehidupan anggota masyarakat yang beragam baik
itu karena kesenjangan sosial ataupun atas perbedaan mendasar tentang bagaimana
pola dan cara pandang masyarakat itu sendiri . Namun, secara sederhana penyebab
konflik dibagi menjadi dua, yaitu kemajukan horizontal dan kemajemukan
vertical.
Sebagian dari teori konflik berkembang
sebagai reaksi karena tidak berjalannya sebuah struktur fungsional dengan
sebagaimana mestinya. Masalah mendasar dari teori konflik adalah tentang
bagaimana teori ini seolah-olah merupakan sejenis fungsionalisme structural
yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap
masyarakat. Teori konflik juga sering dianggap sebagai antithesis dari teori
struktur fungsional, dimana teori structural fungsional sangat mengedepankan
keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik
adalah sebuah system sosial yang memang harus terjadi.
Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa
konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural
fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik
tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.
Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya
paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan
dominasi, koersi, dan power.
Dahrendorf(1959,1968) adalah tokoh
utama yang berpikiran bahwa mayarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan
konsensus, teoritisi konsensus harus mmenguji nilai dari integrasi masyarakat
dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasaan yang mengikat masyarakat. Meski demkian Dahrendorf mengatakan
“Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang telah membingungkan
pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat”.
Dahrendorf adalah seorang yang memulai
dan sangat di pengaruhi oleh fungsionalisme structural. Sehingga ia beranggapan
bahwa system sosial dipersatukan oleh kerja sama suka rela atau konsensus oleh
kedua-duanya. Dahrendorf juga memusatkan perhatian pada struktur sosial yang
lebih luas, yang berinti tesis bahwa berbagai posisi dalam masyarakat memiliki
kualitas otoritas yang berbeda. Sehingga otoritas memiliki peran dalam sebuah
konflik. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki
sedikit dan banyak kekuasaan(otoritas). Perbedaan dominasi itu dapat terjadi
secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu,
mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap
bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis
bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan
kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan
nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara
kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini
serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
(Dalam G.Ritzer. Teori Sosiologi
Modern. Edisi ke6. Hal 165) Teori dahrendorf yang mengatakan masyarakat
memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus yang saling berketerkaitan.
Contohnya adalah dalam konflik yang terjadi di kabupaten lampung selatan
beberapa waktu lalu yang dimana konflik melibatkan dua suku yang bertikai yaitu
suku asli lampung dan suku pendatang dari bali. Pada saat itu konflik terjadi
karena hal yang sederhana namun mengakibatkan sebuah konflik besar yang
menyebabkan kerusakan dan kerugian besar pula baik itu kerugian materi
ataupun kerugian hilangnya nyawa dari
kedua pihak. Disini konflik terjadi karena tak adanya kesepakatan atau
konsensus yang terjalin diawal atau ketika muncul masalah tersebut, sehingga
hal itu berakibat bertambah besar dan luasnya konflik yang terjadi. Walau
konflik telah berakhir setelah ada perundingan damai (konsensus) yang
fasilitasi oleh gubernur lampung saat itu, namun hal yang disayangkan adalah
konsensus yang tidak dilakukan dari awal saat masalah belum menjadi luasdan
besar.
Konflik merupakan sebuah hal yang
mungkin menjadi sebuah jalan menuju ketertaan masyarakat, pada dasarnya
masyarakat memiliki kepentingan atas kehidupannya masing-masing, hal itu yang
kerap menjadi penyulut sebuah konflik ketika ada hal baru yang tercipta karena
jenuh degan sesuatu yang sudah ada, namun hal yang baru itu belum mampu
diterima oleh masyrakat. Namun kehidupan masyarakat akan lebih tertata ketika
konsensus lebih dominan terhadap konflik.
Daftar Pustaka
Ritzer, George
& Douglas J, Googman. 2008. Teori-toeri Sosiologi Modern. Edisi ke-6.
Jakarta:Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar