Konflik
Dahrendorf
Masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan
berubah secara seimbang, Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat,
sedangkan teoritisi konflik menganggap bahwa konflik merupakan sebuah system
sosial
Dahrendorf(1959,1968) adalah tokoh utama yang berpikiran bahwa
mayarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus, teoritisi konsensus
harus mmenguji nilai dari integrasi masyarakat dan teoritisi konflik harus
menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasaan yang mengikat masyarakat.
Meski demkian Dahrendorf (dalam G.Ritzer. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke6.
Hal 165) mengatakan “Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang
telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat”.
Dahrendorf
adalah seorang yang memulai dan sangat di pengaruhi oleh fungsionalisme
structural. Sehingga ia beranggapan bahwa system sosial dipersatukan oleh kerja
sama suka rela atau konsensus oleh kedua-duanya. Dahrendorf juga memusatkan
perhatian pada struktur sosial yang lebih luas, yang berinti tesis bahwa
berbagai posisi dalam masyarakat memiliki kualitas otoritas yang berbeda.
Sehingga otoritas memiliki peran dalam sebuah konflik. Dahrendorf mengakui
terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak
kekuasaan(otoritas). Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis.
Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang
berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa
secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila
dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan.
Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai
yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan-
kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan-
hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Konflik merupakan sebuah hal yang mungkin menjadi sebuah jalan
menuju ketertaan masyarakat, pada dasarnya masyarakat memiliki kepentingan atas
kehidupannya masing-masing, hal itu yang kerap menjadi penyulut sebuah konflik
ketika ada hal baru yang tercipta karena jenuh degan sesuatu yang sudah ada,
namun hal yang baru itu belum mampu diterima oleh masyrakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar