A.
Pengantar
Sebagian
dari teori konflik berkembang sebagai reaksi karena tidak berjalannya sebuah
struktur fungsional dengan sebagaimana mestinya. Masalah mendasar dari teori
konflik adalah tentang bagaimana teori ini seolah-olah merupakan sejenis fungsionalisme
structural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis
terhadap masyarakat.
Konflik merupakan gejala social yang
selalu hadir dalam kehidupan social , sehingga konflik bersifat inheren,
artinya konflik akan selalu ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan
kapan saja. Dalam pandangan ini masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu konflik
dan integrasi social merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan
social. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi social adalah
adanya persamaan dan perbedaan kepentingan.
Konflik adalah sesuatu yang tidak
terelakan dalam kehidupan social, sebagaimana yang dijelakskan oleh pandangan hubungan
manusia, “bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakan dalam
setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya
berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok”
(Robbins,2006:546).
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi bejalan sebagai sebuah
siklus yang utuh pada masyarakat yang keduanya ada secara bergantian. Konflik
yang terkontrol akan manghasilkan sebuah integrasi, dan begitupun sebaliknya integrasi
yang tidak sempurna bisa memunculkan
sebuah konflik.
Teori
konflik muncul sebagai reaksi atas munculnya sebuah structural fungsional.
Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik adalah
pemikiran karl marx. Teori konflik juga sering dianggap sebagai antithesis dari
teori struktur fungsional, dimana teori structural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian
dan konflik adalah sebuah system sosial yang memang harus terjadi.
Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa
konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural
fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik
tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat
disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat
sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat
hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
B.
Rumusan maslah
-
Bagaimana
teori konflik menurut Dahrendorf?
-
Apa
pandangan Dahrendorf terhadap teori konflik?
C.
Pembahasan
Menurut
para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam
keadaan berubah secara seimbang. Namun meurut teoritis konflik dalam setiap masyaralat setiap saat tunduk
pada proses perubahan(G.Ritzer, Teori
Sosiologi Modern, Edisi ke6. Hal.153). Fungsionalis menekankan keteraturan
masyarakat, sedangkan teoritisi konflik menganggap bahwa konflik merupakan
sebuah system sosial. Hal ini jelas bisa ditangkap bahwa para fungsionalis
lebih menganggap bahwa konflik bisa di tiadakan ketika masyarakat itu sendiri
mampu menahan diri karena setiap elemen pada masyarakat berperan dalam menjaga
stabilitas sosial yang ada. Berbanding terbalik dengan para teoritisii konflik
yang beranggapan bahwa berbagai elemen masyarakat mampu menyumbangkan sebuah
integrasi dan perubahan
Inilah yang menjadi titik tekan dan
kritik dahrendorf terhadap fungsionalis maupun teoritis, ketika teoritisi
konflik beranggapan bahwa keteraturan yang ada sekarang itu berasal dari sebuah
konflik yang dimana terjadi pemaksaaan terhadap anggota masyarakatnya serta
ketertiban masyarak adalah sebuah peran dari penguasa dan kekuasaan, sedangkan
fungsionalis menganggap bahwa nilai kebersamaan masyarakat yang menciptakan
sebuah kohesi. Sebuah hal yang jelas sangat jauh berbeda namun dahrendorf
mensejajarkan keduanya. Dahrendorf(1959,1968) adalah tokoh utama yang
berpikiran bahwa mayarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus,
teoritisi konsensus harus mmenguji nilai dari integrasi masyarakat dan
teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasaan
yang mengikat masyarakat. Meski demkian Dahrendorf (dalam G.Ritzer. Teori Sosiologi
Modern. Edisi ke6. Hal 165) mengatakan “Mustahil menyatukan teori untuk
menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan
filsafat barat”.
Dahrendorf adalah seorang yang memulai dan
sangat di pengaruhi oleh fungsionalisme structural. Sehingga ia beranggapan
bahwa system sosial dipersatukan oleh kerja sama suka rela atau konsensus oleh
kedua-duanya. Dahrendorf juga memusatkan perhatian pada struktur sosial yang
lebih luas, yang berinti tesis bahwa berbagai posisi dalam masyarakat memiliki
kualitas otoritas yang berbeda. Sehingga otoritas memiliki peran dalam sebuah
konflik. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki
sedikit dan banyak kekuasaan(otoritas). Perbedaan dominasi itu dapat terjadi
secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu,
mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap
bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis
bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan
kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan
nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara
kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini
serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
D.
Kesimpulan
Konflik merupakan sebuah hal yang
mungkin menjadi sebuah jalan menuju ketertaan masyarakat, pada dasarnya
masyarakat memiliki kepentingan atas kehidupannya masing-masing, hal itu yang
kerap menjadi penyulut sebuah konflik ketika ada hal baru yang tercipta karena
jenuh degan sesuatu yang sudah ada, namun hal yang baru itu belum mampu
diterima oleh masyrakat. Namun kehidupan masyarakat akan lebih tertata ketika
konsensus lebih dominan terhadap konflik.
Daftar
Pustaka
George Ritzer-Douglas J.Goodman. Teori
Sosiologi Modern . Jakarta: Kencana
Crab Ian. Teori-Teori Sosial Modern. Dari
Parson Sampai Habermas . Jakarta : Rajawali Pers
Elly M. Setiadi-Usman Kolip. Pengantar
Sosiologi:Pemahaman Fakta dan Permasalahan
Sosial. Teori, Aplikasi dan
Pemecahanya. Jakarta : Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar